Pages

Thursday, August 5, 2010

Pindah Ibukota Karena Alasan Mistik

Lagi hot-hotnya berita tentang kemacetan di Jakarta dan usulan pindahnya ibukota (pada saat tulisan ini dibuat), gak sengaja nih gw ketemu artikel menarik dari VivaNews.

Ternyata, ada juga Negara yang memindahkan ibukotanya karena alasan mistik.
Contohnya adalah Myanmar. Simak cerita berikut ini.




Ribuan serdadu itu bergegas ke utara.  Memakai seragam lengkap, sepatu lars dengan bedil gelenjot di pundak.  Diangkut 1.100 truk militer yang gagah perkasa, rombongan bala tentara ini mengular hingga puluhan kilometer.
Pagi  itu 11 November 2005. Saat matahari merayap ke pucuk gunung,  para serdadu itu meninggalkan anak-istri yang terisak. Perpisahan itu terlalu mendadak. Diberitahu cuma dua hari sebelum berangkat.
Ribuan serdadu bermata sembab itu tidak sedang berangkat ke medan perang. Tapi ke sebuah kota bernama Pyinmana, 200 mil jauhnya dari Rangoon. Entah dapat wangsit dari langit mana, pemimpin junta militer Jenderal Than Shwe,  tiba-tiba memindahkan ibukota negara Myanmar ke kota yang terletak di tengah hutan itu.
Para tentara yang dihela pagi itu, diperintahkan mengawal ribuan pegawai negeri sipil dari 11 Departemen, sekaligus mengawal kota baru Pynmana. Perpindahan itu benar-benar merepotkan. Semua dokumen dan peralatan kantor diangkut, termasuk batu bata merah dari jaman Victoria dari ratusan bangunan kuno yang dirubuhkan di Rangoon.
Banyak orang mengecam Than Shwe atas aksi nekatnya itu. Ada yang menyebut sang jenderal sudah gila. “Semua orang membenci perpindahan ini, tapi pemerintah sudah gila,” kata Soe, salah seorang anggota keluarga yang dipindahkan seperti ditulis Washington Post, 28 Desember 2005.
Anggota keluarga yang ditinggalkan murka alang kepalang dengan ibukota baru itu. Kota Pyinmana, lanjut Soe, “Aku sangat berharap bisa meledakkan tempat itu” Tapi  bahkan ribuan serdadu berbedil yang pergi sembari bersungut pagi itu, tak sanggup menolak pindah.
Mereka bergegas melewati hutan, melintasi jalan rusak yang banyak lubangnya. Dan rombongan panjang ini masuk ibukota baru itu saat hari sudah gelap. Perjalanan menghabiskan waktu 12 jam.
Selain disambut kegelapan, mereka juga disambut kengerian. Pynmana bukanlah kota seperti yang dibayangkan. Kota itu cuma himpunan cagak beton, jalan tak beraspal yang menyemburkan debu tebal ke lubang hidung.
Berbilang bulan, ribuan pegawai negeri dan para serdadu itu bak tinggal di pengungsian. Menetap di bangunan yang belum rampung, tanpa air bersih dan listrik seperti di kota Yangoon.
Hidup serba susah, kurang gizi, di tengah hutan pula, membuat mereka jadi sasaran empuk serdadu hutan Myanmar yang amat berbahaya: nyamuk malaria. Banyak yang menyerah, tapi tak kuasa kabur dari kota itu.
Sepanjang 2005 itu, negeri seribu Pagoda itu seperti sebuah diskotik house music. Senyap dari luar, hiruk pikuk  dan berisik di dalam. Dunia baru tahu bahwa ibu negeri itu pindah, setelah junta militer mengumumkannya 5 bulan kemudian, 26 Maret 2006. Nama ibukota baru itu Nay Pyi Taw yang artinya Kota Raja.
Menteri Penerangan, Kyaw Hsan berdalih bahwa ibukota baru itu lebih strategis untuk pemerintahan. Yangoon juga dianggap sudah sumpek. Cuma tersisa sedikit tanah untuk membangun gedung-gedung pemerintah.
Walau diberi penjelasan seperti itu, kebanyakan orang Myanmar menilai perpindahan itu sungguh irasional. “Aku orang Myanmar, tapi seringkali aku tak bisa mengerti apa yang dipikirkan pemerintah,” kata Aung Zaw, editor Irrawaddy – media yang dioperasikan para jurnalis Myanmar di pengasingan.
Banyak yang menuduh perpindahan itu gagasan egois Jenderal Than Shwe . Ada pula yang menganalisa ini  menunjukkan sikap paranoid terhadap invasi Amerika Serikat.
Yang  paling riuh dibicarakan rakyat Myanmar adalah alasan mistis. Di khayalak ramai-- dari kota-kota hingga ke kampung-kampung--beredar cerita bahwa ramalam dari dunia mistik telah membuat  bulu kuduk Jenderal Than Shwe meriang alang kepalang.
Ramalan itu menyebutkan bahwa kekuasaan Sang Jenderal tinggal sejengkal. Bintangnya segera meredup dan nyaris padam pada April 2006. "Ramalan itu mengatakan pemerintah akan jatuh Bulan April," kata salah satu mantan jurnalis Myanmar, seperti dimuat Boston Globe, 1 Januari 2006.

Sang jenderal yang merawat kesetiaan rakyat dengan bedil itu,  segala daya mempertahankan kekuasaan.
Tapi bahkan ribuan serdadu bersenjata lengkap, tank dan pesawat tempur sekalipun, tak sanggup melindungi sang jenderal dari ancaman itu. Cuma satu jalan keluarnya. Sesegera mungkin pindahkan ibukota.
Satu-satunya cara untuk menyelamatkan rezim yang berkuasa,  adalah memindahkan ibu kota dari Rangoon. Apapun alasan perpindahan itu, dampaknya sudah sangat jelas.
Negeri itu kian tertutup dari dunia luar.  Awal tahun 2006 itu siapa pun yang tidak berkepentingan—apalagi warga asing—dilarang masuk ke Naypyidaw. Memotret ibu negeri itu haram hukumnya.
 "Anda hanya dapat berkomunikasi dengan pemerintah Myanmar melalui surat. Jika Anda memiliki masalah mendesak, Anda dapat mengirim surat melalui fax," kata seorang diplomat dari negara Asia, mengulangi instruksi dari Kementerian Luar Negeri Myanmar. "Bayangkan, dapatkah Anda mempercayai hal itu.”
Kini, walau sedikit terbuka,  ada zona tertentu di Naypyidaw yang tak boleh dimasuki orang biasa seperti kompleks pejabat militer. Bahkan kompleks sipil yang 11 kilometer jauhnya dari gedung-gedung pemerintahan masuk zona militer. Perumahan sipil itu dilengkapi bunker dan pertahanan militer.

Ibukota Tanpa Jiwa
Berganti ibukota bukan hal mustahil. Tapi dari pengalaman sejumlah negara, perpindahan itu sungguh merepotkan. Melibatkan banyak ahli, banyak orang, juga menelan uang banyak.
Pakar teknik, perencanaan dan desain arsitektur AECOM, Andrew Jones, menuturkan bahwa di manapun ibu kota akan pindah, pemerintah harus menghitung secara cermat uang yang diperlukan.
Namun memindahkan ibukota negara, lanjut Jones, bukan sekedar membangun gedung, tapi juga membangun jiwa yang baru, termasuk kekuatan ekonomi baru. Tapi membangun jiwanya, kota itu akan mati.
Contoh kota yang gagal membangun jiwanya adalah Brasilia, ibu negeri Brasil. Tahun 1960, Presiden Juscelino Kubitschek, memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia.
Seperti dimuat People’s Daily, alasan utama pemindahan itu untuk mengembangkan wilayah pedesaan yang terbelakang, menstimulasi pembangunan pertanian, penyebaran penduduk dan pendapatan. Di masa awal, pemerintah begitu susah memindahkan organ-organ pemerintahan.
Tahun 2010 ini, Brasilia memperingati  50 tahun menjadi ibu kota.  Meski memiliki sejumlah bangunan yang spektakuler  yang mendapat pengakuan UNESCO -- sejak dinobatkan sebagai pusat pemerintahan – Brasilia bagai kota tanpa ‘jiwa’.
Beredar lelucon di kalangan pendatang, baik dari Brazil maupun luar negeri.  Kata mereka, “Hiburan terbaik yang ada di Brasilia adalah bandaranya.” Terutama ketika mereka meninggalkan kota itu.
Claudio de Magalhaes, dosen senior perencanaan kota University College London mengatakan pemindahan ibu kota ke Brasilia jelas sudah setengah gagal.
Bahkan hingga 20 tahun sesudah perpindahan itu,  pemerintah masih harus memberi insentif agar orang-orang mau pindah ke ibu kota baru.
Gagal di Brasilia, murung di Rio de Janeiro. Kota ini rugia besar, karena sebagian bisnis berpindah ke Sao Paulo. “Politik lokal didominasi oleh hubungan dengan para Bandar narkoba,” kata Magalhaes.
Kisah gagal itu juga terjadi di Tanzania. Meski Dodoma, menjadi kota utama, kehidupan kota itu sangat lambat, bahkan cenderung tidak berkembang. Yang riuh dan meriah justru kota Dar es Salaam, yang jauhnya 45o kilomter dari ibukota.
Ibu negeri Israel juga termasuk kisah yang gagal. Tahun 1950, negeri zionis ini memproklamasikan Yerusalem sebagai ibu kota. Namun, konflik di Tepi Barat membuat pusat pemerintahan baru ini sekedar klaim. Sebagian besar negara sahabat Israel, termasuk Amerika Serikat, bergeming. Mereka tetap menempatkan kedutaannya di Tel Aviv.
Gempa Mengancam, Ibukota Pindah
Ancaman Gempa membuat para petinggi Iran ketar-ketir. Para ahli gempa telah memperingatkan, gempa dahsyat mengancam ibu kota Iran. Pusat pemerintahan Iran sejak 1795 itu bisa lumpuh.
Teheran berada di atas setidaknya 100 patahan dan diperkirakan tak akan bertahan bisa diguncang lindu. Trauma gempa di Bam tahun 2003 -- yang menewaskan 40.000 – makin memperkuat alasan.
Teheran terletak di kaki pegunungan Alborz. Kota ini dihuni 12 juta orang – menjadikannya salah satu kota terbesar di Timur Tengah.
Tidak jadi jantung pemerintahan dan pusat ekonomi, Teheran adalah kotra metropolis yang lengkap – dengan museum-museum, galeri seni, taman dan universitas.
Ini bukan rencana baru, sudah lama pemerintah Iran ancang-ancang memindahkan ibu kota pada tahun 2025. Seismolog Iran, Profesor Bahram Akasheh, kepada surat kabar Guardian, menyarankan ibu kota baru harus berada di luar wilayah gempa.
Dia menyarankan ibu kota Baru Iran dibangun di antara kota suci, Qom dan Delijan, di Provinsi Markazi. “Ini adalah area yang tidak pernah diguncang gempa selama 2.000 tahun.”
Belum-belum, spekulasi beredar soal Qom, yang merupakan rumah pemimpin spiritual konservatif. Memindahkan ibu kota di dekat Qom dianggap petanda, bahwa kekuatan konservatif sedang  berusaha menguatkan kekuasaannya  -- itu kata Dominic Dudley, deputi editor Middle East Economic Digest, London.
Gempa juga mengancam ibu kota Haiti. Pada 12 Januari 2010 lalu, , Port-au-Prince diguncang gempa 7,3 skala Richter. Ribuan orang tewas, 15 juta lainnya kehilangan tempat tinggal.
Ahli gempa, Claude Prepetit – yang juga meramalkan gempa Januari lalu – memperingatkan gempa dahsyat, bahkan dengan kekuatan yang lebih besar akan kembali mengguncang Port-au-Prince dalam waktu 20 tahun mendatang.
Seperti dimuat Spiegel Online, prediksi ini membuat pemerintah Haiti berpikir keras, apa yang harus dilakukan, membangun kembali Port-au-Prince dari kehancuran, atau memindahkan ibu kota ke tempat lain.

Berguru ke Kualalumpur
Kuala Lumpur, sebagai mana ibu kota lainnya, menghadapi masalah kemacetan dan overpopulasi. Sebagai jalan keluarnya, pada 1999 Malaysia memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya -- sebuah kota baru yang terencana -- di sebelah selatan Kuala Lumpur. Kantor perdana menteri juga dipindah ke sana.
Meski demikian, Kuala Lumpur tak kehilangan statusnya sebagai ibu kota. Gedung parlemen, pusat ekonomi dan keuangan tetap berada di sana.
Putrajaya didirikan atas gagasan Perdana Menteri Malaysia yang berkuasa saat itu, Mahathir Mohammad.
Pembangunan kota modern ini dimulai pada 1996 dan diharapkan rampung pada 2010 ini. Nama Putrajaya  adalah gabungan dari nama ‘jaya’ dan nama perdana menteri pertamanya, Tunku Abdul Rahman Putra Al Haj.
Punya lebih dari satu ibu kota juga dialami Belanda. Meski secara de jure ibu kota Belanda adalah Amsterdam, pemerintahan Belanda, termasuk monarkinya berada di Hague.
Afrika Selatan lebih menarik lagi. Negara ini punya tiga ibu kota. Pusat administrasi pemerintahan berada di Pretoria, pusat legislatif berada di Cape Town, sementara pusat peradilan berada di Bloemfontein.

No comments:

Post a Comment